Masalah Etik Pengobatan Pada Penderita Schizofrenia  

Saturday, December 1, 2007

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah kesehatan mental pada awalnya kurang mendapat perhatian oleh karena tidak langsung terkait sebagai penyebab kematian. Perhatian terhadap masalah kesehatan mental meningkat setelah World Health Organization (WHO) pada tahun 1993 melakukan penelitian tentang beban yang ditimbulkan akibat penyakit dengan mengukur banyaknya tahun suatu penyakit dapat menimbulkan ketidakmampuan penyesuaian diri hidup penderita (Disability Adjusted Life Years/DALYs).
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ternyata gangguan mental mengakibatkan beban cukup besar yaitu 8,1 persen dari global burden of disease (GDB) melebihi beban yang diakibatkan oleh penyakit tuberkulosis dan kanker. Dari 8,1 persen GDB yang ditimbulkan oleh gangguan neuropsikiatris, gangguan depresi memberikan beban terbesar, yaitu 17,3 persen, sedangkan gangguan psikosis memberikan beban 6,8 persen.
Skizofrenia sebagai salah satu bentuk gagguan jiwa memiliki jumlah penderita yang terus bertambah, pada tahun 1985 sekitar 23 juta orang di dunia menderita skizofrenia, dan pada tahun 2000 meningkat sebanyak 45 persen dan tigaperempatnya berada di negara-negara berkembang. Perawatan dan pengobatan paksa bukanlah hal yang baru bagi penderita skizofrenia. Hal ini karena penderita umumnya dianggap tidak kompeten untuk menandatangani surat persetujuan tindakan medik dan memutuskan apa yang baik untuk dirinya.


B. Tujuan
Adapun tujuan dari tulisan ilmiah ini adalah untuk mengenal masalah etik:
1. Otonomi penderita skizofrenia.
2. Pengobatan paksa pada penderita skizofrenia sebagai tindakan paternalistik.
3. Intervensi koersif paternalistik yang dibenarkan secara moral.


BAB II
ISI

A. Tema
Landasan moral pengobatan paksa pada penderita skizofrenia.

B. Pengkajian/Collecting Data
1. Informed consent hanya sebagai masalah legal-formal, dimana tujuan utamanya untuk kepentingan pasien berubah menjadi demi kepentingan dokter dan sebagai alat pelindung atas tuntutan hukum terhadap kesalahan yang dilakukan.
2. Penandatanganan informed consent dilakukan oleh paisen atau wali tetapi tidak semua pasien atau wali mendapatkan informasi medis yang memadai dan dapat dipahami.
3. Adanya konflik antara menghormati otonom penderita dengan bertindak paternalistik dalam penanganan pasien menjadi masalah bioetik secara umum.
4. Pada penderita skizofrenia penyelesaian konflik antara menghormati otonom penderita dengan bertindak paternalistik menjadi lebih kompleks karena adanya perbedaan mendasar antara penderita medis dan psikiatris, perbedaan pengertian sakit fisik dan mental, dimana pada penderita skizofrenia tidak merasa sakit dan tidak membutuhkan bantuan dokter.
5. Inkompetensi penderita skizofrenia memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan penderita bukan gangguan jiwa, penolakan terhadap pengobatan merupakan bagian dari penyakitnya dan penderita masih dapat memberikan opini.
6. Penilaian kompetensi yang akurat diperlukan dalam bentuk kemampuan menilai realita pada penderita skizofrenia.
7. Pengobatan paksa pada penderita skizofrenia memunculkan 3 masalah, yaitu:
a. Apakah penderita skizofrenia masih dapat dikatakan sebagai pelaku moral yang otonom?
b. Apakah pengobatan dan dan perawatan paksa dapat dipandang sebagai tindakan paternalistik dari pihak dokter?
c. Intervensi koersif paternalistik yang bagaimana yang dapat dibenarkan?

C. Masalah
1. Hak otomom penderita skizofrenia dimana inkompetensi merupakan bagian dari gangguannya sehingga hak untuk memutuskan terapi bagi dirinya diambil oleh wali/orang tua/dokter.
2. Dokter hanya meminta informed consent dari pihak keluarga penderita tapi masih perlu dipertanyakan apakah keluarga telah memperoleh informasi medis yang memadai dan dapat dipahami.

D. Tinjauan Masalah Etik
Masalah tersebut diatas termasuk dalam masalah etika:
Individual freedom Vs Control and prevention of harm (Kebebasan individu Vs Penanganan dan pencegahan bahaya).

E. Alternatif Pemecahan Masalah
1. Berdasar Prinsip Otonomi
a. Tindakan dan pengobatan paksa terhadap penderita skizofrenia dapat dibenarkan berdasarkan prinsip kerugian dan paternalistik, dimana tindakan pemaksaan dibenarkan jika perilaku penderita membahayakan orang lain dan diri sendiri.
b. Pentingnya penilaian kompetensi penderita skizofrenia dalam bentuk kemampuan menilai realita.
c. Perlunya tim kesehatan melibatkan penderita dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan masalahnya.
2. Berdasar Prinsip Manfaat
a. Perawat secara moral berkewajiban membantu orang lain/pasien untuk melakukan sesuatu yang menguntungkan dan mencegah timbulnya bahaya, sehingga tindakan/intervensi yang dilakukan demi kepentingan penderita dan mencegah bahaya baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
b. Masalah etika adalah masalah alasan dan kemanfaatan sebuah tindakan sehingga yang tidak dibenarkan adalah sikap dan perilaku yang tidak menghargai otonomi penderita ketika melakukan tindakan.
c. Informasi yang adekuat diperlukan tidak hanya untuk persetujuan informed consent, tetapi mencakup area yang lebih luas yaitu semua tindakan yang akan dan diperlukan dilakukan termasuk perencanaan pulang bagi penderita dan keluarganya (discharge planning).
F. Alternatif Tindakan
1. Idealnya informed consent perlu diberikan baik pada pasien maupun keluarga/walinya. Dengan pertimbangan keadaan penderita skizofrenia yang mengalami inkompetensi sehingga tidak dapat menentukan pilihannya secara bertanggungjawab dan rasional maka diperlukan wali yang dapat mewakili penderita dengan catatan wali tersebut telah diberikan penjelasan tentang terapi dan informasi medis lainnya dengan jelas dan rinci.
2. Keterlibatan pasien dalam persetujuan tindakan tetap dapat dilakukan meskipun persetujuan utama didapatkan dari walinya.

G. Implikasi bagi Keperawatan
1. Adanya masalah-masalah yang berada di luar ruang lingkup undang-undang dan peraturan dimana tidak dapat diputuskan benar atau salahnya melainkan sesuai dengan etika profesi keperawatan.. Peran dan fungsi penilaian tersebut ada pada komite keperawatan.
2. Peningkatan kualitas asuhan keperawatan yang diberikan dengan mengacu kepada Standar Asuhan Keperawatan (SAK) yang ada agar dapat menilai kompetensi penderita.
3. Sikap dan perilaku perawat dalam melakukan tindakan perlu selalu dievaluasi agar tidak menyimpang dari penghargaan terhadap Hak Asasi Pasien.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penderita skizofrenia tidak dapat secara otomatis dianggap tidak kompeten terhadap persetujuan tindakan medik, tetapi hal tersebut harus dinilai dengan melihat kemampuan menilai realita. Masalah menghormati otonom penderita dengan bertindak paternalistik pada penderita skizofrenia menjadi masalah etika yang kompleks karena penderita merasa tidak sakit dan tidak membutuhkan bantuan pelayanan kesehatan.
Masalah etika harus diselesaikan dengan pertimbangan alasan dan kemanfaatan bukan menilai benar salahnya suatu tindakan. Fungsi penilaian ini ada pada komite keperawatan yang dibentuk berdasarkan kebutuhan akan peran profesionalisme.

DAFTAR PUSTAKA


Hartanto, R. 2003. Jurnal Kedokteran Trisakti. Mei-Agustus 2003. Vol. 22 No. 2. Jakarta
Soewadi. 1999. Simtomatologi dalam Psikiatri. Medika FK UGM. Yogyakarta
Stuart dan Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3. EGC. Jakarta
Townsend, M.C. 1996. Psyciatric Mental Health Nursing: Concept of Care. Second Edition. FA Davis Company. Philadelphia
Widyawati. 2002. Materi Kuliah Etik dan Hukum Kesehatan (Tidak dipublikasikan). PSIK FK UGM. Yogyakarta


AddThis Social Bookmark Button
Email this post


Design by Amanda @ Blogger Buster