Pengobatan/Perawatan Pasien Ketergantungan NAPZA Pasca Detoksifikasi dr. Hartati Kurniadi SpKJ., MHA
Tuesday, January 13, 2009
PENDAHULUAN 
Banyak  orang, terutama yang awam tentang pengobatan ketergantunqan napza, beranggapan  bahwa setelah  detoksi-fikasi maka seharusnya anak/pasien itu sudah  sembuh/baik kembali seperti sebelum  mereka tergantung pada napza atau bahkan ada yang  berharap bahwa anaknya dapat baik seperti apa yang mereka harapkan. Hal ini tentu  saja akan menimbulkan  kekecewaan  baik bagi orangtua maupun anak/pasien tersebut. Detoksifikasi adalah langkah awal dari suatu  proses  penyembuhan pasien engan ketergantungan  napza;  jadi setelah langkah awal  ini, perlu dilakukan langkah solanjutnya  agar pasien dapat tetap terbebas dari penggunaan napza. Untuk  fase awel ini masih dapat  dilakukan  pemaksaan pada  pasien, misalnya  dengan diborgol dan pengawasan ketat atau dilakukan dengan ultra rapid toxification. Tetapi untuk langkah selanjutnya perlu adanya kerjasama yang baik dari  pasien  tersebut, keluarga,  lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Selanjutnya akan dibicarakan mengenai perawatan pasien setelah terapi detoksifikasi yaitu habilitasi dan rehabilitasi. 
 
HABILITASI 
Perawatan ini ditujukan terutama untuk stabilisasi keadaan mental dan emosi pasien sehingga gangguan jiwa yang sering mendasari ketergantungan napza dapat dihilangkan atau diatasi. Keadaan ini  merupakan langkah yang sangat panting, sebab usaha  rehabilitasi dan resosialisasi banyak tergantung dari berhasil atau tidaknya tahap ini. 
Pada tahap ini kadang masih ditemukan juga keadaan yang kita sebut slip yang artinya episode penggunaan kembali napza setelah berhenti  menggunakan selama kurun waktu tertentu. Atau dapat  juga mereka terjatuh kembali menggunakan napza secara tidak terkontrol setelah berhenti menggunakan  napza selama kurun waktu tertentu yang  dikenal dengan istilah relaps. Oleh sebab itu  pada tahap  ini perlu dilakukan berbagai bentuk terapi atau kegiatan yang sesuai dengan individu/ keadaan pasien tersebut. Jadi penanganan  pada setiap  pasien tidak bisa disamaratakan, sangat personal. Pada tahap ini tidak jarang farmakoterapi masih diperlukan untuk mengobati gangguan  jiwa yang mendasari  ketergantungan napzanya. Dalam hal ini yang biasa dipakai adalah golongan antiancietas, anti-depresi atau anti-psikotik. Motivasi pasien untuk sembuh memang merupakan kunci  keberhasilan pada tahap ini. Pasien yang baik, dapat bekerjasama dengan terapisnya tanpa pengaruh napza lagi. Sikap ini akan mempercepat tahap habilitasi, walaupun memang perlu waktu untuk  dapat  bersikap  seperti itu. Selain itu,  efek pemakaian  napza di  otak juga  tidak dapat  pulih dengan cepat karena berdasarkan penelitian, zat yang dipakai tersebut berkaitan dengan neurotransmitter dalam otak. Untuk mernpercepat rehabilitasi ini, peran lingkungan, terapis dan pendamping yang  mendukung proses penyembuhan pasien sangat diharapkan. Habilitasi dapat berupa  berbagai  bentuk  terapi atau kegiatan  yang dapat diberikan kepada pasien  sesuai  dengan indikasi yang ada. Jadi tidak semua bentuk terapi dan kegiatan harus diberikan kepada setiap pasien. Bentuk terapi/kegiatan tersebut antara lain : 
− Latihan Jasmani : misalnya lari-lari pagi; karena menurut penelitian, dapat meningkatkan kadar endorfin. 
− Akupunktur : dapat meningkatkan kadar andorfin sehingga mengurangi keadaan depresi. 
− Terapi Relaksasi : karena banyak pasien yang susah untuk relaks. 
− Terapi Tingkah Laku : teknik terapi yang dikembangkan berdasarkan teori belajar. Hukuman diberikan apabila pasien berperilaku yang tidak diinginkan (menggunakan napza) dan hadiah diberikan bila pasien berperilaku yang diinginkan (tidakmenggunakan napza). 
− Terapi Disulfiram (Antabuse) : merupakan terapi aversif pada ketergantungan alkohol; jadi merupakan suatu bentuk terapi tingkah laku. Disulfiram menghambat metabalisme alkohol dalam darah sehingga kadar asetaldehida dalam plasma meningkat. Jadi bila minum Disulfiram, lalu kemudian meminum juga alknhol, maka akan timbul suatu perasaan yang tidak enak misalnya mual, muntah, rasa penuh di kepala dan leher, nyeri kepala, muka merah, wajah berkeringat, berdebar-debar, rasa napas pendek, rasa tak enak di dada, vertigo, penglihatan kabur, dan kebingungan. Kontra indikasi pemberian disulfiram ialah penyakit jantung. Dosis 250 mg setiap hari atau 509 mg tiga kali seminggu selama satu tahun. Disulfiram sebaiknya diberikan bersama-lama dengan terapi lain seperti psikoterapi individual atau kelompok, konseling individual atau mengikuti pertemuan alkohol anonimus. Perlu pengawasan dari anggata kaluarga agar terjamin bahwa disulfiram tetap dimakan secara teratur.  
− Terapi antagonis opioida : misalnya neltrexon; kerjanya menghambat efek euforia dari opioida sehingga pasien akan merasa percuma menggunakan opioida karena tidak mengalami euforia. Di sini perlu sekali pengertian dari pasien, karena bila pasien tidak serius ingin berhenti memakai opioida, maka bila dia menggunakan naltrexon, dan juga menggunakan opioida, maka dapat terjadi overdosis opioida. Naltrexon  diberikan sebanyak 50 mg perhari atau disesuaikan dengan dosis pemakaian opioida; sebaiknya diberikan selama minimal 6-12 bulan. 
Kontra indikasinya : 
1.   Pasien yang  mendapat pengobatan dengan analgesik opioida. 
2.  Pasien yang kadang-kadang masih menggunakan opioida. 
3.  Pasien yang test urin untuk opioidanya masih positif.  
4.   Pasien dengan hepatitis akut atau fungsi hepar buruk. 
 
− Methadone Maintenance Program : biasanya yang menjalani program ini adalah mereka yang telah berkali-kali gagal mengikuti program terapi, habilitasi dan rehabilitasi lain. Untuk menjalankan program ini diperlukan administrasi yang baik; untuk menghindari kemungkinan adanya pasien yang mendapat jatah obat lebih. Jadi harus ada satu pusat catatan Medik terpadu.Sebelum mengikuti  program ini  pasien  harus  diperiksa secara medis  dahulu termasuk  pemeriksaan darah rutin, test fungsi hati, rontgen  paru-paru  dan EKG. Dosis methadon setiap hari dimulai dari 30-40 mg, biasanya dosis maintenance sebesar 40-80  mg perhari.  Jarang melebihi 120 mg perhari. Setiap hari  pasien harus  datang  ke pusat  terapi dan minum jatah methadon di hadapan petugas; biasanya diminum dengan segelas jus  jeruk. Bagi mereka yang sekolah atau bekerja dan konditenya baik dapat datang ke pusat terapi dua kali seminggu dan membawa  methadon pulang  ke rumahnya (diberikan methadon yang berjangka waktu kerja lama yaitu LAAM - L Alfa Aceto-Methadol). Sewaktu-waktu  urin harus  diperiksa untuk memastikan bahwa methadon yang diperoleh dan dibawa pulang dipakai sendiri dan bukan dijual. 
− Psikoterapi individual : untuk mengatasi konflik intrapsikik dan gangguan mental yang terdapat pada pasien, termasuk gangguan kepribadian. 
− Konseling : dapat membantu pasien untuk rnengerti dan memecahkan masalah penyesuaian dirinya dengan lingkungan. 
− Terapi Keluarga : sangat diperlukan karena pada umumnya keluarga mempunyai andil dalam terjadinya ketergantung napza pada pasien. Terapi ini juga mempersiapkan keluarga beradaptasi dengan pasien setelah yang bersangkutan tidak menggunakan napza lagi. 
− Psikoterapi Kelompok : banyak dilakukan dalam program habilitasi karena dirasakan banyak manfaatnya. Pasien lebih dapat menerima kritik, konfrontasi, dan saran yang diberikan pasien lain daripada terapis. 
− Psikodrama : suatu drama yang dirancang berkisar pada suatu krisis kehidupan atau masalah khusus. Drama ini dapat membantu pemainnya (pasien) mengenali masalah bagaimana ia mengambil inisiatif untuk menyelesaikan masalah tersebut, terapi ini barmanfaat terutama bagi orang yang sulit menyatakan suatu peristiwa atau perasaan secara verbal. 
 
REHABILITASI  
Dalam pengobatan ketergantungan napza  perlu  dilakukan hingga tingkat rehabilitasi. Alasannya, selain menimbulkan gangguan fisik dan kesehatan jiwa, ketergantungan napza juga memberi dampak sosial bagi pasien, lingkungan keluarga maupun masyarakat sekitarnya. 
Rehabilitasi pada hakikatnya bertujuan agar penderita bisa melakukan perbuatan secara normal, bisa  melanjutkan  pendidikan sesuai kemampuannya, bisa bekerja lagi sesuai dengan bakat  dan minatnya,  dan yang terpemting bisa  hidup  menyesuaikan  diri dengan lingkungan keluarga  maupun masyarakat sekitarnya. Satu hal lagi yang banyak  diharapkan setelah mengikuti rehabilitasi, pasien dapat  menghayati agamanya secara baik. Itulah sebabnya banyak lembaga  rehabilitasi yang  didirikan berdasarkan kepercayaan/agama. 
Terapi rehabilitasl ini meliputi beberapa hal : 
− Rehabilitasi Sosial : meliputi segala usaha yang bertujuan memupuk, membimbing, dan meningkatkan rasa kesadaran dan tanggung jawab sosial bagi keluarga dan masyarakat. 
− Rehabilitasi Edukasional : bertujuan untuk memelihara dan maningkatkan pengetahuan dan mengusahakan agar pasien dapat mengikuti pendidikan lagi, jika mungkin memberi bimbingan dalam memilih sekolah yang sesuai dengan kemampuan intelegensia dan bakatnya. 
- Rehabilitasi Vokasional : bertujuan menentukan  kemampuan kerja  pasien serta cara mengatasi penghalang atau rintangan untuk penempatan dalam  pekerjaan yang  sesuai.  Juga memberikan  keterampilan yang  belum dimiliki pasien  agar dapat bermanfaat bagi pasien untuk mencari nafkah. 
− Rehabilitasi Kehidupan Beragama : bertujuan membangkitkan kesadaran pasien akan kedudukan manusia di tengah-tengah mahluk hidup ciptaan Tuhan; menyadarkan kelemahan yang dimiliki manusia, arti agama bagi manusia, membangkitkan optimisme berdasarkan sifat-sifat Tuhan yang Mahabijaksana, Mahatahu, Maha pengasih, dan Maha pengampun.
PENUTUP 
Satu  hal yang harus  disadari dan dipahami oleh semua pihak adalah bahwa detoksifikasi bukanlah  terapi tunggal dari ketergantungan napza, melainkan langkah awal dari suatu proses terapi ketergantungan napza. Selain itu harus dimaklumi juga  bahwa pengobatan  ketergantungan napza membutuhkan waktu yang cukup panjang. Bahkan untuk mengetahui dengan pasti bahwa  pasien tersebut betul-betul pulih,  baru bisa dipastikan setelah yang bersangkutan meninggal. 
Oleh sebab itu agar pengobatan/perawatan ketergantungan napza berjalan  dengan baik,  perlu pemahaman  diri  (insight) pasien, dibantu dengan kerja sama  yang baik dengan terapis serta dukungan yang kuat dari lingkungan terdekat. Untuk itu diperlukan usaha yang terus menerus dan perasaan yang selalu optimis baik dari  pasien,  terapis,  maupun lingkungannya agar  setiap kemajuan yang sekecil apapun, dapat disyukuri dan merupakan  dorongan untuk mencapai kemajuan yang  lebih banyak. 
 
 
KEPUSTAKAAN 
 
1.  Leow KF. Medical Aspect of Naltrexone. Symposium  : Advances in the management of drug addiction - role  of naltrexone in medical practice. Singapore, Feb. 11, 1996. 
2.  Joewana S. Gangguan Penggunaan Zat. Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif Lain. Jakarta: Gramedia, 1989. 
3.  Fisher GL,  Harrison TC. Substance Abuse. Information for School Counselors, Social Workers,  Therapists, and Counselors. Needham Heights, Massachusetts. A Simon & Schuster Company, 1997. 
4.   Bennett G. Treating Drug Abusers. Great Britain. Billing & Sons Ltd. 1989.
 






0 comments: to “ Pengobatan/Perawatan Pasien Ketergantungan NAPZA Pasca Detoksifikasi dr. Hartati Kurniadi SpKJ., MHA ”
Post a Comment