SEHAT JIWA  

Thursday, January 29, 2009

Pada masa sekarang banyak hal yang dapat mempengaruhi seseorang untuk mengalami gangguan jiwa seperti tekanan terhadap ekonomi, pekerjaan, putus pacar, atau malah pada saat mendapat pacar seseorang dapat menjadi uring-uringan marah-marah, sampai-sampai pada keinginan untuk mengakhiri hidup sendiri. Di madia massa banyak yang memberitakan ada ibu yang tega membakar diri dan anaknya karena himpitan ekonomi, ada anak yang nekat gantung diri karena gak dapat uang jajan, atau ada mahasiswa yang nekat lompat dari gedung tempat kuliah karena gak lulus-lulus, so kita mesti ngerti dulu dengan diri kita/jiwa kita sendiri, sebelum ngerti tentang orang lain.



Pengertian sehat jiwa menurut Johanda adalah bersikap positif terhadap diri sendiri, mengalami pertumbuhan dan perkembangan sampai aktualisasi diri, memiliki integritas diri, otonomi, persepsi realitas dan menguasai lingkungan (environmental mastery). Seseorang dikatakan sehat jiwa bila mampu menyesuaikan diri (beradaptasi) dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat dan lingkungan yang menjadi stressor. Kemampuan beradaptasi terhadap stressor dipelajari sepanjang hidup manusia, disebut dengan mekanisme koping. Penyesuaian diri yang baik berdampak pada terwujudnya keharmonisan fungsi jiwa, sanggup menghadapi masalah, merasa bahagia dan mampu diri. Kesehatan jiwa merupakan suatu keadaan keseimbangan jiwa seseorang, dimana ia dapat mengatur hidupnya dan menjalankan fungsinya dalam masyarakat.

Seseorang yang sehat jiwa cenderung lebih tahan terhadap berbagai penyakit, stressor dan konflik. Fungsi fisik dan psikis/jiwa saling mempengaruhi melalui jalur fisiologis tubuh dan perilaku sehat. Jalur fisiologis yang utama melalui sistem hormon, persarafan serta imunitas/kekebalan tubuh. Jalur perilaku sehat mencakup pola perilaku adaptif seperti olah raga, makan-minum-istirahat, menghindari rokok, aktivitas seks yang aman dan sehat serta pertolongan medis segera bila ada gangguan kesehatan. Sedangkan seseorang yang memiliki gangguan jiwa cenderung hidup dalam dunia yang diciptakananya sendiri, mengalami kesulitan dalam komunikasi, asosial atau antisosial, bahkan tidak mampu mengurus dirinya sendiri.
Ada beberapa ciri-ciri orang yang sehat jiwa, menurut WHO adalah dapat menyesuaikan diri secara konstruktif, merasakan kepuasan dari usaha nyata, lebih puas memberi daripada menerima, hubungan antar manusia yang saling menolong, menerima kekecewaan untuk pelajaran yang akan datang, mengarahkan rasa bermusuhan pada penyesalan yang kreatif dan konstruktif, serta mempunyai kasih sayang. Sedangkan ciri-ciri orang yang kurang sehat jiwanya menurut WHO antara lain selalu diliputi suasana khawatir dan gelisah, mudah marah karena hal-hal sepele, menyerang orang lain karena kemarahannya, permusuhan, kebencian, sulit memaafkan orang lain, tidak mampu menghadapi kenyataan hidup, tidak realistik, lari dari kenyataan, murung, putus asa dan tidak mampu menyatakan isi hatinya kepada orang lain (kayaknya banyak ni dari kita yang belum sehat jiwa………).

Ada 3 aspek utama yang merupakan faktor predisposisi pertahanan kesehatan jiwa seseorang yaitu :
a. Individu
Memiliki harga diri positif, vitalitas, hidup berarti, hidup harmonis, identitas positif dan faktor-faktor biologis terpenuhi.
b. Interpersonal
Komunikasi yang efektif, keintiman, menolong orang lain dan keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian.
c. Budaya
Rasa memiliki kelompok, suport antar anggota masyarakat, cukupnya sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dalam masyarakat dan tidak adanya tindakan kekerasan dalam masyarakat.

Ada 3 faktor utama yang menjadi pencetus gangguan jiwa yaitu genetik (internal), pola asuh dan pola didik yang kurang baik (salah) serta lingkungan sebagai stressor. Ada banyak faktor psikososial yang dapat menjadi pencetus gangguan jiwa, diantaranya perkawinan (perceraian, perpisahan, ketidaksetiaan), problem dengan orang tua (tidak punya anak, anak banyak, anak nakal, anak sakit, hubungan yang tidak baik dengan mertua), hubungan interpersonal (konflik dengan sahabat, kekasih, atasan atau teman kerja), pekerjaan (terlalu banyak, tidak bekerja, tidak cocok, mutasi jabatan, kenaikan pangkat, pensiun, PHK, atau mau nyalon jadi caleg……), lingkungan hidup (lingkungan rumah rawan, penggusuran tempat tinggal), keuangan (pendapatan rendah, terlibat utang, usaha bangkrut, warisan), hukum (tuntutan, pengadilan, penjara) dan penyakit (kecelakaan, operasi, aborsi, jantung dan kanker).

Paradigma pencegahan gangguan jiwa yang dapat dipakai oleh setiap orang adalah paradigma pencegahan perilaku dan strategi pencegahan. Pencegahan perilaku diarahkan agar tidak terbentuk respon maladaptif. Perilaku khusus yang perlu dicegah antara lain menolak diri sendiri, melukai orang lain, kebiasaan tidak sehat seperti makan berlebihan, mabuk-mabukan, menyalahkan orang lain, menunda-nunda sesuatu, banyak berdalih, kegagalan berperan (sebagai mahasiswa, orang tua, pekerja, dll), terputusnya hubungan (seperti suami-istri, orang tua-anak, pekerja-bos, dll), perasaan overreaksi/ reaksi yang berlebihan seperti mudah panik, cemas pada situasi baru, mudah mengamuk, mudah melarikan diri dari sesuatu, serta ketidak mampuan psikologis seperti tidak bisa menerima sakit-penyakit, tidak punya kompensasi dan mudah frustasi walaupun dalam peristiwa normal.

Strategi pencegahan sakit jiwa dilakukan melalui pendidikan kesehatan, perubahan lingkungan dan sistem support sosial yang ada. Pendidikan kesehatan dapat meningkatkan kompetensi respon adaptif, kemampuan kontrol diri, strategi koping yang efektif dan peningkatan harga diri. Perubahan lingkungan meliputi pemantapan ekonomi dan keuangan keluarga, mendapatkan pekerjaan atau pendidikan yang memadai, tempat kerja aatau rumah baru, dll. Sistem support sosial yang diberikan dapat menghilangkan atau meminimalkan stressor pencetus dan faktor resikonya. Mensupport klien jiwa bertujuan menguatkan koping yang dimiliki, merujuk pada sistem support sosial yang ada di masyarakat seperti Puskesmas, kelompok masyarakat yang ada, dll.

Seandainya ada seorang yang menunjukkan gejala gangguan jiwa perlu segera dilakukan pemeriksaan oleh dokter jiwa. Sekecil apapun gejala penyakit jiwa sebaiknya konsultasikan dan ajak orang tersebut untuk menemui dokter jiwa atau psikiater. Dengan begitu bisa dilakukan antisipasi sedini mungkin sehingga tidak “kebablasan” dan merepotkan keluarga. Keluarga sebagai orang terdekat perlu untuk membantu pulihnya penderita dengan gangguan jiwa. Caranya adalah dengan mengajak ngobrol, konsultasi dengan dokter atau pikiater dan membantu menyadarkan jati dirinya. Penderita diajak untuk melakukan kegiatan keagamaan atau beribadah. Bila seorang penderita telah sembuh, keluarga perlu menyiapkan seorang pendamping yang setiap saat dapat membantu penderita mengurus dirinya, mengawasi perilakunya, memberikan obat secara teratur sesuai petunjuk dokter. Lingkungan yang kondusif sangat dibutuhkan dan harus tercipta saat penderita keluar dari isolasi (pengobatan).

Untuk penderita dengan depresi sebaiknya kita memahami dan mengerti kondisi penderita. Proses tersebut tidak bisa dilakukan dengan cepat atau segera, hanya dengan sekali bertemu. Biasanya membutuhkan waktu lama dan kesabaran dari keluarga dan orang-orang terdekat.

Hal penting lain yang dilakukan untuk mengatasi gangguan jiwa adalah menghilangkan stigma yang ada pada penderita gangguan jiwa. Selama ini stigma yang berkembang di myarakat antara lain keyakinan atau kepercayaan bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh setan, kutukan, guna-guna,dll. Selain itu ada juga stigma bahwa gangguan jiwa tidak dapat disembuhkan dan selalu diturunkan. Adanya stigma seperti ini membawa akibat yang sangat merugikan bagi penderita, anggota keluarga serta petugas yang kesulitan dalam mengenali, mengobati dan merehabilitasi penderita gangguan jiwa. Kebanyakan penderita datang mencari pertolongan sudah dalam keadaan terlambat/parah. Perlu sosialisasi terus-menerus untuk tidak meletakkan stigma bagi penderita gangguan jiwa.




AddThis Social Bookmark Button
Email this post


0 comments: to “ SEHAT JIWA

Design by Amanda @ Blogger Buster